The Iron Lady (2011) Review

1/26/2012 12:35:00 AM



Seperti biasanya, cukup banyak film - film kelas Oscar yang dirilis di penghujung tahun 2011 lalu. Beberapa di antaranya mungkin sudah melalang buana di berbagai festival film di dunia dan baru tayang secara wide bulan October-December lalu. Salah satu yang sering terdengar gaung-nya adalah film biopik Margaret Thatcher, The Iron Lady. Namun, bukan filmnya yang ramai diperbincangkan masyarakat film, melainkan Meryl Streep yang memerankan Margaret Thatcher. Kualitas aktingnya memang sudah tidak diragukan lagi dan ia baru saja dianugrahi piala Golden Globe atas usahanya berakting di film ini. Tetapi, bagaimana dengan isi filmnya? 

Sayangnya, The Iron Lady gagal menjadi film biopik yang bagus. Kesalahan utama dari film ini adalah pada style narasi-nya yang tidak biasa untuk sebuah film biopik, di mana kisah perjuangan Margaret Tatcher menjadi perdana menteri Inggris diceritakan lewat potongan ingatan dan halusinasi Margaret yang sudah tua. Ya, penyakit dementia (penyakit otak yang mempengaruhi ingatan, mental, dsb) yang diderita beliau ternyata dijadikan roda pemutar plot film ini. Sehingga tidak heran apabila banyak masyarakat Inggris yang menghujat dan membenci film ini ketika dirilis di negaranya. Hal ini disebabkan karena film tersebut tidak hanya terkesan ‘menghina’ dan tidak menghormati Margaret, namun juga jauh dari kata mengesankan dan menginspirasi, sebab banyak sekali adegan penting dan perjuangan Margaret menjadi perdana menteri hanya disajikan sepotong - sepotong dengan loncatan timeline yang tidak tanggung - tanggung.

Garis besar kisah film ini berfokus pada masa tua Margaret Tatcher (Meryl Streep) di apartemen mewahnya. Suaminya, Denis Thatcher (Jim Broadbent) telah meninggal dunia karena kanker. Namun, penyakit dementia yang diderita Margaret membuat beliau senantiasa berhalusinasi bahwa Dennis masih hidup dan tidak jarang ia bercakap - cakap dengannya sehingga membuat putrinya, Carol Thatcher (Olivia Colman) khawatir. Di tengah penderitaannya tersebut, Margaret teringat - ingat pada perjuangan di masa mudanya hingga menjadi satu - satunya perdana menteri wanita di Inggris. 



Seperti yang telah disinggung sebelumnya, performa Meryl Streep sebagai Margaret Tatcher sudah mampu menjual film ini sendiri. Aktingnya begitu luar biasa sebagai the Iron Lady, belum lagi dukungan dari kru make - up yang berhasil menyulap Meryl menjadi muda hingga tua secara meyakinkan; sukses melebarkan jalan aktris senior satu ini untuk mendapatkan piala Oscar ke tiganya. Bahkan anda akan dibuat ingin menyaksikan akting Meryl lebih lagi dan lagi seusai credit title muncul di layar bioskop atau mungkin sekedar selesai menyaksikan trailernya. Yes, it’s that good. 


Sayang, hal ini cukup kontras dengan filmnya. The Iron Lady memang terlihat sekali dibuat sebagai film yang pure Oscar Bait dan para sineas di balik layarnya sangat berambisi membuat The Iron Lady sebagai film biopik yang nyeleneh. Sayangnya, mereka tidak berhasil. Jalan hidup Margaret ketika muda yang seharusnya menjadi kisah utama, malah terlihat hanya sebagai serpihan ingatan dari Margaret tua. Selain itu, penulis naskah dan sutradara film ini tampaknya juga tidak begitu memahami kisah pemerintahan Margaret karena hampir semua kejadian vital pada masa pemerintahan Margaret disajikan secara nanggung dalam durasi yang sangat singkat untuk menyampaikan semuanya itu. Akibatnya, film ini tampil tidak menggigit, dan di luar akting Meryl yang superb, The Iron Lady jauh dari kata mengesankan dan memorable.

Overall, sungguh disayangkan bahwa pada akhirnya film ini tampil mengecewakan. Meski film ini tidak seburuk itu, namun The Iron Lady tidak berhasil memberikan tontonan biopik yang mengesankan, emosional, memotivasi ataupun unforgettable seperti yang kita semua harapkan. Namun, tak perlu risau karena anda akan begitu mudah menghiraukan borok film ini begitu melihat Meryl Streep menguasai layar dengan akting luar biasanya itu. 

You Might Also Like

0 comments

Just do it.