The Hunger Games (2012) Review [UPDATED]

3/24/2012 08:58:00 PM

Saga Harry Potter telah usai dan serial Twilight juga akan berakhir November nanti, sementara itu beragam film franchise-wanna-be yang ingin mengekor jejak dua saga ini justru cenderung gagal baik secara komersil maupun kualitas, seperti Narnia (yang akhirnya berhenti di film ke 3), The Spiderwick Chronicles, The Golden Compass, Eragon, I am Number Four, dan lain sebagainya. Bahkan Percy Jackson sendiri bisa dikategorikan cukup gagal (di box office America tidak berhasil menembus US$100 juta dan mendapat review yang kurang menggembirakan) meski pada akhirnya Fox masih memberi kesempatan dengan membuat sekuel film ini yang akan rilis tahun depan. Untuk tahun 2012 ini, Lionsgate merilis The Hunger Games, sebuah film yang diadaptasi dari novel terkenal karangan Suzanne Collins yang diharapkan dapat menjadi ladang uang bagi Lionsgate. Pada awalnya, film ini begitu digembar - gemborkan sebagai the next Twilight Saga, menilik source materialnya yang juga menceritakan mengenai kisah cinta segitiga dan ditulis oleh seorang penulis wanita. Tetapi setelah menyaksikan filmnya sendiri, dapat disimpulkan bahwa : The Hunger Games IS NOT Twilight. It’s one of the best films of 2012.
Alkisah di masa depan, ada sebuah negara bernama Panem yang dibagi - bagi menjadi 12 district dan dikuasai oleh Capitol. Setiap tahunnya, Capitol mengadakan sebuah event bernama ‘Hunger Games’ yang mengumpulkan 24 orang remaja dari 12 district untuk saling membunuh dalam sebuah arena, di mana hanya ada 1 orang yang keluar sebagai pemenang. Permainan kejam ini sendiri adalah dampak dari sejarah pemberontakan kedua belas district terhadap Capitol, yang pada akhirnya mendorong Capitol untuk membuat event peringatan atas pemberontakan tersebut lewat Hunger Games ini.

Cerita kemudian berpindah ke Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), seorang remaja pemberani yang tinggal di District 12. Adiknya, Primrose Everdeen (Willow Shields) justru bertolak belakang dengan kakaknya. Ia sangat penakut dan sering mendapatkan penglihatan lewat mimpi bahwa ia yang akan dipilih untuk mengikuti event Hunger Games ke-74. Dan ternyata, mimpi itu menjadi kenyataan. Prim terpilih sebagai Tribute untuk mengikuti event Hunger Games pada saat event pengundian. Tidak tega melihat adiknya yang pasti terbunuh itu, Katniss dengan berani mengajukan dirinya untuk menggantikan Prim. Maka dimulailah perjuangan Katniss bersama Peeta Mellark (Josh Hutcherson) yang terpilih juga dari district 12, untuk bertahan hidup di medan ‘perang’ Hunger Games.

Jauh sebelum The Hunger Games rilis di bioskop, saya tidak bisa berhenti menganggap bahwa film ini merupakan pencampuran antara Battle Royale (which is one of my favourite movie) dengan cinta segitiga yang cengeng ala Twilight. Namun, ketika mengetahui siapa dalang di balik layarnya (the tallented Mr. Gary Ross), keterlibatan aktris berbakat Jennifer Lawrence, jajaran supporting cast yang tidak main - main, hingga trailer - trailernya yang telah dirilis, harapan saya terhadap film ini tiba - tiba meningkat. Bahkan film ini juga berhasil masuk ke dalam daftar film yang saya tunggu tahun ini. Dan penantian ini tidak sia - sia.

First of all, premise dasar The Hunger Games sangat mirip dengan Battle Royale, di mana akan ada beberapa remaja yang tidak memiliki pengalaman membunuh diadu dalam sebuah permainan mematikan. Tetapi, bagaimana Suzanne Collins mengembangkan premise ini sangat layak untuk diapresiasi. Ia berhasil menyajikan sebuah dunia ‘baru’ yang sangat rich, lengkap dengan budaya dan tata peraturan, makna serta tujuan dari Hunger Games yang jauh lebih kompleks dan lebih dari sekedar bunuh membunuh. Tidak lupa pula selipan isu politik, perkembangan karakter yang sangat baik, human drama yang kuat dan emosional, serta bumbu romansa-nya yang tidak berlebihan semakin membuat Hunger Games berhasil tampil sebagai sebuah kisah yang orisinil dan fresh, daripada menjadi sebuah rip-off dari Battle Royale. Meskipun saya belum membaca novelnya, saya merasa bahwa si sutradara sekaligus penulis naskah film ini, Gary Ross, sukses membuat film yang bisa menjelaskan mengapa novel karangan Suzanne Collins ini begitu terkenal. 

Dalam durasi 140 menit, Ross berhasil menyajikan pace yang menurut saya sangat pas dan tidak terasa lambat ataupun draggy di pertengahan film (seperti yang kebanyakan diderita oleh film - film berdurasi panjang). Hal ini tentu saja berkat kehebatan beliau dalam membagi durasi tersebut untuk setiap step elemen cerita secara seimbang : perkenalan tokoh - persiapan Hunger Games - pelaksanaan Hunger Games - perkembangan karakter - romansa secara brilian dan mendetail. Setiap adegan yang disajikannya berhasil untuk terus membuat saya semakin penasaran, terpukau dan terhisap ke dalam dunia imajinasi Suzanne Collins ini. Tidak hanya itu, jajaran casting dalam film ini semakin meningkatkan keasyikan Hunger Games, terutama Jennifer Lawrence yang menunjukkan performa maksimalnya dalam film ini (meski ia tidak mungkin mendapatkan nominasi Oscar kedua-nya lewat The Hunger Games).

Kemudian, saya juga ingin mematahkan anggapan bahwa film ini adalah the next Twilight. Seperti yang telah saya singgung di atas, The Hunger Games is not Twilight. Fokus utama kisah The Hunger Games terletak pada bagaimana Katniss mempersiapkan dirinya dan bertahan hidup di medan pertarungan; sedangkan kisah cinta segitiga-nya hanyalah sebagai pemanis dan memiliki porsi yang sangat sedikit. But believe me, it truly works. Selain itu, karakter Katniss sendiri juga dibuat sangat bertolak belakang dengan Bella. Ia adalah sesosok karakter remaja perempuan yang sangat tegar, kuat, cerdas, berani, menyenangkan dan realistis. Rasa kekeluargaan dan jiwa patriot-nya juga digambarkan dengan takaran yang pas dan tidak berlebihan. Overall, she’s like Hermione, but a little bit more tomboy. Jadi, dapat disimpulkan bahwa The Hunger Games tidak mirip sama sekali dengan Twilight dan para pria tidak akan keberatan ketika menemani pasangannya menyaksikan film ini.



Apabila ingin dicari kelemahan dari film ini, mungkin saya bisa mengatakan bahwa salah satu hal yang cukup mengganggu adalah penggunaan metode shaky cam yang berlebihan di beberapa scene. Tetapi saya mengerti mengapa Ross menggunakannya. Novel The Hunger Games diceritakan lewat sudut pandang Katniss (first person), jadi cukup wajar apabila Ross banyak menggunakan metode shaky cam karena ia ingin agar para penonton bisa merasakan apa yang dirasakan Katniss dan menurut saya hal ini justru menampik beragam kelemahan yang berhasil saya temukan seperti porsi karakter pendukungnya yang sangat minim (Woody Harelson dan Elizabeth Banks yang tampil maksimal), absennya back-story para karakter antagonis, hingga beberapa plot point yang mungkin akan dijelaskan di installment berikutnya. Jadi intinya, apa yang diketahui dan dilihat Katniss itu juga seperti apa yang diketahui dan dilihat oleh para penonton. Dan Ross berhasil memberi feel tersebut, meski di sisi lain ia juga masih bisa menyajikan The Hunger Games sebagai sebuah cinematic experience yang megah.


Isu berikutnya yang tidak kalah penting adalah porsi adegan aksinya. Mungkin ini adalah kelemahan yang tidak bisa saya bela, tetapi saya tidak terlalu mempermasalahkannya sehingga tidak mengurangi jumlah bintang untuk film ini. Seperti dalam trailernya, The Hunger Games termasuk minim adegan aksi yang penuh effects dan mungkin akan mengecewakan beberapa penonton yang menantikan adegan tersebut; tetapi menurut saya, film ini masih sangat intens, seru dan menegangkan dengan beragam elemen aksi thriller yang sukses digarap Ross dengan baik.

Overall, dengan naskah yang bagus, human drama yang kuat, dan tensi ketegangan yang terus terjaga, The Hunger Games menurut saya adalah film terbaik di tahun 2012 untuk sementara waktu (bersama dengan Chronicle dan The Raid); di samping beberapa elemen ceritanya yang menurut saya masih bisa dikembangkan lagi.

Happy Hunger Games, and may the odds be ever in your favor!

You Might Also Like

4 comments

  1. Betul bro, mank THG kagak sama kaya Twilight, tapi mungkin dari sisi franchise penghasil uang maksud-nya yak... Hehe...


    *Beruntung banget Lionsgate ngambil hak cipta THG... :D

    ReplyDelete
  2. Gak, dulu banyak yang nganggap THG ini mirip Twilight (secara story-nya). Klo franchise pengeruk uang, menurut gw malah memang tujuan utama film ini dibuat untuk mengekor kesuksesan Harpot dan Twlight. huahhaha. Dan ternyata emang sukses beneran, baik secara kualitas dan box office-nya.

    ReplyDelete
  3. Baguslah, soal-nya Twilight series udah terakhir nich tahun ini, sedangkan uang yang berasal dari novel adaptation harus terus ngalir tiap taun... :D

    ReplyDelete
  4. gue baru siap nonton barusan, lumayan seru

    http://kumpulankonsultasi.blogspot.com/

    ReplyDelete

Just do it.