Sanubari Jakarta (2012) Review

4/15/2012 04:31:00 PM





Di samping kepopuleran film horror / porno yang terus mendominasi beberapa tahun terakhir ini, film omnibus (film yang terdiri dari beberapa kisah pendek yang tidak saling berkaitan, namun memiliki tema yang sama) sepertinya juga semakin populer di dunia perfilman Indonesia. Terhitung sejak awal tahun 2012, sudah ada film Dilema dan Hi5teria yang merupakan film omnibus. Dan untuk bulan ini, ada film Sanubari Jakarta yang sudah dirilis di bioskop mulai 12 April 2012 lalu. 




Jujur, saya sampai sekarang masih belum bisa memperlakukan film - film Indonesia seperti saya memperlakukan film asing. Dengan kata lain, saya hanya menonton film Indonesia yang berkualitas saja dan mendapat respon positif dari pecinta film lain. Tidak seperti film asing yang hampir saya tonton semuanya ketika diputar di bioskop, tidak peduli bagus atau buruk (kalau kebangeten, saya skip sih. Contohnya : Spy Kids 4, Jack and Jill, Shark Night, Gone). Alasan utamanya tentu adalah : Banyaknya film Indonesia yang tidak memiliki kualitas layak tonton dan belum berubahnya mindset para sineas Indonesia bahwa mereka sedang membuat sebuah karya seni, bukan untuk meraup uang saja (mindset ini sangat berpengaruh pada kualitas filmnya). Lagian mana mungkin kalau saya harus menonton film horror porno buatan Indonesia di bioskop, dengan harga tiket yang sama dengan film asing? 

Ketertarikan saya terhadap film ini dimulai ketika Sanubari Jakarta menjadi perbincangan hangat di dunia maya dan komunitas - komunitas film beberapa minggu terakhir ini. Tema yang diangkat juga sangat menarik dan berani, yakni LGBT ( Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). Meski saya sudah merasakan bagaimana tema ini digunakan dengan sangat salah oleh sineas Indonesia di film - filmnya (Arisan! 2 dan Catatan Harian si Boy), saya tetap tertarik pada film ini karena para sineas yang terlibat di dalamnya adalah sineas - sineas muda yang memiliki passion yang kuat terhadap dunia film, dengan semangat indie yang luar biasa. Seperti yang kita ketahui, tema LGBT selama ini lebih sering dijadikan bahan lelucon oleh sineas Indonesia. Bahkan di film Arisan! 2 ataupun Catatan Harian Si Boy, tokoh - tokoh gay-nya dibuat sangat annoying dengan perilaku kewanitaan yang tidak wajar. Mungkin bagi penonton lain hal ini adalah bahan lelucon yang sangat lucu, namun tidak bagi saya. Coba bandingkan saja dengan film - film LGBT buatan Hollywood yang sangat elegan itu. Tidak ada perilaku kewanitaan yang konyol, ataupun memperlakukan kaum LGBT ini sebagai lelucon. Hampir semua filmnya benar - benar mengedepankan masalah moralitas di antara kaum LGBT dengan kisah cinta yang mendalam. Bahkan beberapa di antaranya telah berhasil mendapat penghargaan di ajang - ajang festival ataupun Oscar (Weekend, Brokeback Mountain). Kualitas seperti itulah xang saya sangat harapkan dari film Sanubari Jakarta ini. 

Sanubari Jakarta terdiri dari 10 film pendek dengan tema LGBT dan style film yang bermacam - macam.  Dan jujur saja, saya sangat puas dengan film omnibus ini. Film - film pendeknya dibuat dengan artistik, elegan, dan sama sekali tidak tampil murahan, meski budget produksinya sangat pas - pasan (hanya 400 juta rupiah saja, which is only US$43.000). Bahkan tone dan cinematography yang digunakan film - film pendek ini sudah sanggup untuk membuat mata saya terus melekat di layar bioskop. Sangat luar biasa indah, seperti melihat foto - foto hidup yang dipotret oleh photographer profesional. Akting dari aktor - aktris yang terlibat dalam film ini juga patut diacungi jempol. Meski mereka tidak dibayar sama sekali, mereka masih menampilkan performa yang maksimal. Dialog - dialognya juga disuguhkan dengan sangat baik, natural dan tidak kaku, padahal penulis naskahnya masih berusia 21 tahun!! AMAZING! 
Selain kelebihan - kelebihan di atas, film Sanubari Jakarta ini juga akan mendapat perlakukan khusus dalam review saya kali ini. Pasalnya, film ini terdiri dari 10 film pendek yang tidak saling berkaitan, sehingga saya berusaha untuk me-review-nya satu per satu secara urut, tanpa sypnosis tentunya (karena ini film pendek, apabila anda membaca sypnosisnya, maka buyarlah sudah semua kenikmatannya).


1. 1/2
Directed by : Tika Pramesti
Genre : Drama / Surreal / Gay
Rating : 5/5
Sebagai film pembuka, 1/2 sudah lebih dari cukup untuk memberitahu audience akan seperti apa style dan tema film - film pendek berikutnya. Hal yang paling saya sukai dari film pendek ini adalah tone warna-nya yang memukau, cinematography yang bagus dan elemen surreal-nya yang secara mengejutkan mampu memberikan cerita dan gejolak psikologis kar`kternya dengan amat dalam, hanya dalam durasi yang tidak sampai 10 menit.


2. MALAM INI AKU CANTIK
Directed by : Dinda Kanya Dewi
Genre : Drama / Transgender
Rating : 3.5/5
Setelah diberi santapan ‘berat’, Malam ini Aku Cantik adalah film pendek yang cukup ringan dan mudah dicerna ceritanya. Pesan yang disampaikan juga bagus dan bisa mengubah cara pandang kita. Hanya saja, narasi dari karakternya menurut saya terlalu banyak dan sebenarnya cukup diceritakan lewat permainan visual saja. 

3. LUMBA - LUMBA
Directed by : Lola Amaria
Genre : Drama / Bisex
Rating : 3.5/5
Disutradarai oleh sang producer sendiri, Lumba - Lumba tampil cukup baik dan khas film pendek kebanyakan. Tetapi alur-nya terkesan terlalu tergesa - gesa menurut saya, sehingga beberapa plot point-nya terasa agak maksa. Meski kemudian hal ini ditutupi oleh twist di endingnya, yang membuat keseluruhan film ini memiliki pesan, cerita dan makna yang lebih dalam daripada yang sudah disampaikan lewat visualisasi-nya.

4. TERHUBUNG
Directed by : Alfrits John Robert
Genre : Multi-narrative Drama / Lesbian
Rating : 2/5
Salah satu bagian yang lemah menurut saya. Ceritanya sendiri hanya seputar dua orang karakter yang tidak saling mengenal dan kemudian bertemu di satu tempat. Dan hanya terbatas itu saja, tanpa ada pengembangan atau pesan yang berarti.

5. KENTANG
Directed by : Aline 
Genre : Comedy / Gay
Rating : 4/5
Sempat down di bagian ke empat, film Kentang sanggup untuk membangkitkan kembali semangat para penonton. Hanya bersetting di satu ruangan saja, film ini tampil menyenangkan dengan performance yang baik dari salah satu aktornya. Dialog - dialognya juga terkesan private dan berani, sehingga seakan - akan ada kamera tersembunyi di dalam ruangan itu yang membuat para penonton melihat / mendengar sesuatu yang seharusnya tidak dilihat. Film ini mungkin menjadi favorit penonton berkat joke - joke-nya yang lucu itu (meski bagi saya biasa saja, karena tipikal humor remaja bandel di SMA ataupun kampus.)

6. MENUNGGU WARNA
Directed by : Adriyanto Dewo
Genre : Drama / Silent / Black and White / Gay
Rating : 4.5/5
Menyaksikan film ‘Menunggu Warna’ ini sungguh mengingatkan saya akan film The Artist. Pasalnya, film ini juga dihadirkan hitam - putih dan karakter - karakternya sama sekali tidak berbicara. Namun, suara televisi dan sound effects masih ada. Overall, film ini sangat asyik untuk diikuti dan dibuat seperti visualisasi sebuah diary mengenai kisah percintaan yang manis. Bersiaplah untuk endingnya yang cukup mengejutkan dan ambigu itu. 
FYI : Menunggu Warna dibintangi oleh Albert Halim, yang kebetulan juga memerankan peran yang sama di film Catatan Harian Si Boy.

7. PEMBALUT
Directed by : Billy Christian
Genre : Drama / Lesbian
Rating : 4.5/5
Sama seperti Kentang, film ini juga bersetting di satu ruangan. Kisahnya memang biasa, namun eksekusi dan akting adalah bagian terkuat di film ini, di mana seorang aktris (katanya) memerankan semua karakternya, dengan sifat yang sangat bertolak belakang. 
8. TOPENG SRIKANDI
Directed by : Kirana Larasati
Genre : Drama / Transgender
Rating : 1.5/5
Tidak diragukan lagi, Topeng Srikandi adalah bagian yang paling lemah dalam film Sanubari Jakarta. Keturutsertaan Deddy Corbuzier dalam jajaran cast-nya juga sangat misplacing. Tetapi bukan berarti film ini jelek. Pesan yang ingin disampaikan cukup bagus dan sepertinya memiliki potensi menjadi lebih baik lagi apabila dikembangkan menjadi film panjang, sebab kisahnya menurut saya terlalu “rumit” untuk ukuran film pendek.

9. UNTUK A
Directed by : Fira Sofiana
Genre : Drama / Transgender
Rating : 2.5/5
Bagian ke sembilan ini juga tidak kalah lemahnya dengan ‘Topeng Srikandi’ dan ‘Terhubung’, walau sedikit lebih baik berkat narasi dan nuansa misteriusnya. Hanya saja, twist di endingnya terbilang buruk dan maksa. Malah saya berharap bahwa tebakan saya di awal film dipilih untuk me-replace story film ini (tidak saya tulis, nanti Spoiler). 


10. KOTAK COKLAT
Directed by : Sim F
Genre : Drama / Romance / Transgender
Rating : 5/5
Bagian terakhir bukan berarti bagian yang terburuk. Kotak Coklat justru menjadi bagian terbaik dan paling manis menurut saya. Plot-nya yang cukup orisinil itu mengalir dengan lembut, menyentuh dan disajikan dengan cinematography serta tone yang amazing. Akting para bintangnya juga top notch dengan dialog yang tidak mengada - ada. Saya sangat berharap agak Kotak Coklat ini dibuat film panjangnya, dengan formula cerita, sutradara, penulis naskah, aktor dan aktris yang sama. Then, I’ll be on the first line!

------------

Secara keseluruhan, Sanubari Jakarta memang masih memiliki beberapa kelemahan, seperti durasinya yang sempit untuk menyajikan 10 film pendek sekaligus, beberapa bagian film pendek yang tampil kurang memuaskan, hingga gunting sensor LSF yang ganas itu. Namun, tidaklah berlebihan apabila mengatakan bahwa Sanubari Jakarta adalah film Indonesia yang bagus, berani, dan dibuat dengan tata artistik yang tinggi serta semangat indie yang luar biasa. Bahkan kesan amatir dan cheesy yang sering saya rasakan ketika menonton film Indonesia, sama sekali hilang ketika menyaksikan film ini! Sebuah pencapaian yang gemilang dalam dunia perfilman Indonesia.
One of the best film of 2012.

You Might Also Like

2 comments

  1. Wow, 10 potongan film dalam 1 film, Hi5teria aja 5 film..

    :D

    ReplyDelete
  2. favorit saya tetap 1/2 yang membuat dahi mengkerut untuk berpikir mengartikan setiap simbol yang ada. sinematografinya top notch!

    ReplyDelete

Just do it.