THE THREE STOOGES (2012) REVIEW

8/03/2012 11:03:00 PM



Pada tahun 1930-1940an, tidak ada yang tidak mengenal The Three Stooges. Trio Moe, Larry, dan Curly begitu terkenal pada jamannya berkat lawakan - lawakan mereka yang seperti pencampuran antara Looney Tunes dengan Mr. Bean. Dan seperti serial televisi lainnya, masa kejayaan Stooges juga sempat berakhir karena meninggalnya para aktor ataupun sineas di balik layarnya. Namun, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa legacy yang mereka tinggalkan sudah begitu mendarah daging dalam dunia film komedi sampai sekarang. Dan untuk tahun 2012 ini, sineas Farrelly bersaudara bersama 20th Century Fox menyuguhkan kembali The Three Stooges di layar lebar untuk dinikmati para pecinta film generasi sekarang ini.  Apakah film ini berhasil membangkitkan kembali franchise The Three Stooges seperti halnya yang dilakukan The Muppets tahun lalu?


Sebelumnya, saya tidak pernah mengikuti serial The Three Stooges yang asli (hanya pernah melihat satu episode mereka di youtube), namun film ini sepertinya ditujukan sebagai sebuah proyek reboot. Kisah The Three Stooges dibuka dengan peristiwa pembuangan trio bayi Moe (Chris Diamantopoulos), Larry (Sean Hayes), dan Curly (Will Sasso) di depan pintu panti asuhan. Selama 35 tahun, mereka hidup bersama dengan para biarawati dan juga para anak - anak yatim piatu. Namun, tingkah laku mereka yang nyeleneh dan over-the-top itu membuat para biarawati putus asa dalam menangani ketiga manusia ini.
Suatu hari, panti asuhan tempat Moe, Larry dan Curly tinggal terancam untuk dipindah tangankan apabila hutang sebesar $830.000 yang dimiliki panti asuhan tersebut belum dilunasi. Merasa bertanggung jawab atas anak - anak yatim piatu dan tidak rela tempat tinggalnya hilang begitu saja, mereka pun segera berkelana ke kota untuk mencari uang sebesar $830.000 dalam kurun waktu 30 hari saja. 

Seperti yang sudah tertulis di atas, kalian tentu menyadari bahwa alur cerita film ini sudah sangat basi dan sangat sangat sangat sangat sangat sering dipakai di film - film live action untuk pasar keluarga, yakni mengenai perjuangan para karakter utamanya dalam mempertahankan tempat tinggal mereka (contoh film : Yogi Bear, The Muppets, dsb). Dari sekian banyak film keluarga, hanya segelintir saja yang sukses seperti The Muppets. Salah satu kunci keberhasilannya tentu karena sang sineas sukses dalam mengembangkan premise tersebut dengan menggunakan berbagai formula cerdas dan humor - humor yang fresh sehingga membuat penonton tidak jenuh dalam mengikuti tiap untaian plot-nya yang sangat predictable itu.  Apakah The Three Stooges termasuk salah satunya yang berhasil?
Well, not really. 
Kekuatan utama dari film The Three Stooges ini berasal dari performa para pemeran ketiga karakter utama film ini : Moe, Larry, dan Curly. Akting dan chemistry mereka bertiga begitu luar biasa sehingga membuat segala lawakan mereka di layar bioskop (baik yang lucu maupun yang tidak lucu) mampu bekerja dengan amat baik dan sangat menyenangkan untuk diikuti. Usaha mereka untuk membuang jauh - jauh rasa malu ketika melakukan segala tingkah laku konyol dan komikal ini jelas sangat patut untuk diapresiasi. 

Hal lain yang tidak kalah unik adalah usaha Farrelly Brothers dalam memberi sedikit banyak efek nostalgia kepada para fans The Three Stooges. Salah satunya yang paling terlihat yaitu dengan membagi plot dalam film ini menjadi tiga episode yang masing - masing berdurasi kurang lebih 20 - 30 menit, layaknya serial TV. Setiap episode akan diawali dengan banner khas serial The Three Stooges zaman dahulu (untuk lebih mudah dalam membayangkannya, banner tersebut mirip dengan banner pembuka Tom and Jerry ataupun Looney Tunes). 
Sayang, hal di atas kurang begitu didukung oleh humor - humor yang disajikan dalam film ini. Dengan menggunakan gaya komedi ala Looney Tunes dan Mr. Bean, The Three Stooges sebenarnya memiliki potensi untuk menuai kesuksesan yang sama besarnya dengan kedua serial tersebut. Namun potensi itu tidak dapat terealisasi karena sebagian besar lawakan yang mereka bawakan terasa seperti sudah ketinggalan zaman dan kemungkinan besar adalah hasil recycle dari episode - episode The Three Stooges yang tayang beberapa dekade lalu. Belum lagi gaya humor mereka sudah begitu sering dipakai di film anak - anak yang mendunia, terutama seperti Tom and Jerry, Looney Tunes, Mr. Bean, dsb., yang tentu akan membuat penonton generasi sekarang merasa sangat familiar dengan gaya humor tersebut. 

Tetapi, hal itu bukan berarti film ini menjadi tidak enak untuk dinikmati. Sebagian lawakan mereka masih sangat lucu dan berhasil mengocok perut penonton (terutama adegan menyiram ikan di lapangan golf). Tidak hanya itu, seperti yang sudah tertulis di atas, performa ketiga aktor utamanya begitu dahsyat dan sukses ‘menguasai’ film ini secara keseluruhan dari awal hingga akhir. Sehingga, meski humor yang ditawarkan sudah usang, melihat aksi Moe, Larry dan Curly di layar bioskop jelas sudah menjadi hiburan tersendiri tanpa harus meninggalkan kesan painful yang sering muncul dalam film - film keluarga sejenis. 
Problem lain yang menjadi momok The Three Stooges ini adalah kualitas naskahnya. Kesan kebingungan dan kehabisan ide begitu terlihat dalam usaha berlebihannya untuk menghadirkan sebuah jalinan kisah yang baik dan juga beberapa joke yang menyindir kehidupan sosial masa kini. Usaha tersebut justru menjadi bumerang tersendiri karena arah film menjadi tidak karuan dengan beragam twist konyolnya dan memunculkan beberapa eye rolling joke yang seharusnya dihapus saja.

Overall,  The Three Stooges tidak seburuk yang saya kira sebelumnya (lewat beragam review - review negatif yang beredar). Film ini memang masih memiliki banyak sekali kekurangan yang sebenarnya muncul akibat usaha para sineas untuk membuat film ini tampil fresh; namun secara keseluruhan, The Three Stooges adalah film komedi yang cukup fun, menyenangkan bagi anak - anak, dan membuat para penonton dewasa teringat pada masa kecilnya.


You Might Also Like

0 comments

Just do it.