OZ, NOT SO GREAT AND POWERFUL

3/10/2013 04:02:00 PM



OZ THE GREAT AND POWERFUL
2013 / Black & White - Color / 130 Minutes / Sam Raimi / US / 1.37:1 - 2.39:1 / PG



Kegagalan bertubi-tubi dua film petualangan Mars di bulan Maret 2011-2012 ternyata masih belum membuat Disney jera untuk mengulang kesuksesan Alice in Wonderland mereka tahun 2010 lalu yang tidak disangka-sangka sanggup lolos seleksi untuk bergabung dengan The Billion Dollar Club. Tidak hanya itu, semenjak penampilan cemerlang Alice in Wonderland, studio besar lain juga mulai berani untuk merilis film-film blockbuster mereka di bulan Maret dan membuatnya seakan-akan sebagai pemanasan sebelum musim panas. Lihat saja tahun ini. Ada Jack the Giant Killer, G.I Joe Retaliation, The Croods, kemudian The Host dan tentunya, Oz The Great and Powerful yang konon berbudget $320 Million (termasuk biaya marketing).


Oke, kembali ke Oz. Tidak sulit sebenarnya untuk menebak keputusan para petinggi Disney untuk membuat prequel dari salah satu film klasik legendaris sepanjang masa, The Wizard of Oz (1939) ini dan merilisnya di bulan Maret. Well, It’s simple. Mereka ingin mengulang kembali kesuksesan film Alice in Wonderland dengan menggunakan formula yang sama : mengadaptasi buku anak-anak yang sudah sangat populer, membuat setting dunianya se-magical dan semirip Alice in Wonderland yang mereka bisa, dan tentunya, 3D. Dan supaya harapan serta uang mereka tidak terbuang sia-sia lagi seperti kasus Mars Needs Moms dan John Carter, Disney mempercayakan proyek raksasa ini di tangan sutradara Sam Raimi yang sudah berpengalaman memproses uang ratusan juta dollar di tiga film Spider-Mannya terdahulu. Dan pertanyaannya sekarang, apakah mereka berhasil membuat film Oz the Great and Powerful sehebat judulnya itu? 

Kisah klasik yang difilmkan dengan cara klasik

Unfortunately, meski film ini sudah dipastikan untuk mendatangkan ratusan juta dollar di tangga box office seluruh dunia--thanks to brand Oz yang sudah sangat kuat itu, Oz The Great and Powerful justru dapat dikatakan gagal dalam hal kualitas penyuguhan aliran ceritanya ataupun untuk sekedar menjadi sebuah film prekuel yang layak dari film selegendaris The Wizard of Oz. 

Pada awalnya, Oz the Great and Powerful tampil cukup meyakinkan. Para penonton dibawa untuk menelusuri kehidupan Oscar (James Franco), seorang pesulap keliling yang sangat berbakat namun kurang beruntung, melalui lensa 1.37:1 tanpa warna. Suatu hari, sebuah peristiwa “mengerikan” di tempat sirkus telah memaksa Oscar untuk kabur dengan balon udara tanpa menyadari bahwa angin topan tengah berputar mendekati tempat sirkus itu. 

Oscar pun terperangkap tak berdaya dan terbawa arus ke sebuah wilayah antah-berantah bernama Oz. Jangankan kabur dari masalah, Oscar justru harus membayar “keselamatannya” ini dengan memburu The Wicked Witch yang menguasai Oz.


Aspek yang paling berdampak signifikan mungkin terletak pada keputusan--atau pemaksaan?--untuk menggunakan formula The Wizard of Oz yang notabene sudah berusia 74 tahun ke dalam seri Oz terbaru ini yang justru membuatnya terasa lebih seperti film live action-animation hybrid yang sangat kekanak-kanakan dan terkesan jadul daripada sebuah modernisasi atau reimagining dari film adaptasi buku dongeng paling populer ini. Bisa jadi keputusan ini muncul ke permukaan karena Disney sangat berupaya untuk tidak mengecewakan para penggemar Oz yang sudah tak terhitung jumlahnya sehingga mereka harus mempertahankan template klasik tersebut dan membuat Oz terbaru ini agar tetap terasa seperti film klasiknya. Nah lucunya, eksekusi seperti ini--meski akan memuaskan anak-anak dan fans fanatik Oz--ternyata tidak cocok untuk para penonton di zaman modern seperti sekarang ini. 

Dan satu hal lagi yang mengejutkan datang dari departemen Visual Effects. Tidak disangka bahwa Disney begitu ingin agar film ini terlihat “fake” (ya lagi-lagi demi penghormatan untuk The Wizard of Oz) sehingga harus mengorbankan jualan utama film ini--yakni efek CGInya--untuk tampil tidak realistis. Realistis di sini bukan berarti harus kelam dan dark seperti, you know, Snow White and the Huntsman, tetapi lebih pada penggunaan warna dan kekontrasannya yang sangat berlebihan di film ini. Pendeknya, Oz tampil terlalu colorful dan terlalu bersandarkan pada efek CGI--yang tentunya tidak dapat bertahan lama diterjang waktu.

Bahkan tidak sulit untuk membuktikan bahwa 90% set tempat di film ini adalah CGI karena memang perbedaan antara mana yang set asli dan mana yang CGI sangat jelas, ya bahkan bagi mata yang tidak terlatih sekalipun. Efek make-up The Wicked Witch pun juga terlihat sangat fake dan terasa sangat menggelikan kalau para penonton masih ingin menganggap bahwa Oz ini adalah film live action, bukan animasi.



Seriously, Disney mungkin sangat berambisi untuk tetap setia dengan tampilan visual The Wizard of Oz, tetapi bagi penonton sekarang, di zaman yang serba modern ini, apa yang dilakukan Disney dapat dikatakan terlalu berlebihan dan malah menjadi bumerang terhadap film ini sendiri. Mereka seakan-akan ingin membuat ulang film klasik dengan formula yang klasik agar film baru mereka ini masih terlihat klasik dengan teknologi yang modern.

Namun jujur, di luar tribute di awal film yang sengaja dibuat hitam putih dengan aspek ratio 1.37:1 untuk menyamai prolog film The Wizard of Oz dan kemudian bertransisi dengan begitu spektakuler ke aspect ratio 2.39:1 (serius, ini jenius), tampilan visual Oz the Great and Powerful sama sekali tidak istimewa; malah terkesan dipoles berlebihan dan terlalu berwarna-warni yang lebih membuat kepala pusing daripada membuat penontonnya takjub. Ya, seperti wanita yang memakai make-up terlalu tebal. 


Selain itu, tingkat kemiripannya dengan Alice in Wonderland pun tak terelakan. Hal pertama yang langsung tertangkap oleh mata adalah desain set dunianya yang Wonderland banget, hanya dengan tambahan warna kontras dan perubahan sedikit di sana sini. Hal kedua terletak pada premisenya yang sangat identik : seorang manusia dari bumi (Oscar - Alice) terperosok ke dunia yang penuh makhluk gaib dan menjadi satu-satunya orang yang dapat menghentikan kekuasaan sang tokoh antagonis (The Wicked Witch - Red Queen). Ring any bell?

Parahnya lagi, plot Oz the Great and Powerful yang tidak diadaptasi dari 13 buku Oz satupun ini juga mengalir sama straight-forward-nya dengan film Alice in the Wonderland : sebuah kisah good vs. evil yang dilengkapi dengan karakter utama yang two-dimensional (baik ya baik, jahat ya jahat), back story yang nyaris tidak ada, dan tokoh antagonis klasik yang tujuannya hanya satu : menguasai dunia tanpa motivasi yang jelas. Kisah yang terlalu sederhana untuk dibuat dengan kucuran budget $320 juta dan dikemas dalam durasi sepanjang 130 menit.


More like executive’s film rather than Raimi’s

On the slightly bright side, Oz the Great and Powerful masih memiliki kelebihan-kelebihan yang sebenarnya tidak dapat dipandang sebelah mata namun akhirnya terlewat begitu saja. Satu bagian yang paling saya suka adalah metafora kejadian di dunia nyata dengan di dunia Oz yang somehow memiliki keterkaitan yang depth dan cukup menakjubkan. Hal ini benar-benar memiliki potensi untuk mentwist dan memunculkan keambiguitas tersendiri terhadap kisah ini seperti apakah dunia Oz nyata atau tidak. 

Sayangnya, potensi tersebut tidak berhasil sampai ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar aji mumpung karena film ini terlalu sibuk sendiri dengan tata visual dan plot yang dibuat sebisa mungkin dapat dicerna oleh anak-anak (dan Disney mungkin memaksa Raimi untuk bermain aman dengan mengambil rute yang kelewat sederhana dan cliche). Beberapa poin plot yang menarik untuk dikembangkan pun juga hanya bergerak sambil lalu dan meninggalkan penonton yang berharap lebih dengan perasaan kecewa. 


Di sisi lain, keterlibatan para aktor-aktris A-lister-nya, seperti James Franco, Michelle Williams, Rachel Weisz hingga Milla Kunis juga dapat dikatakan ‘terbuang’ sia-sia. Performa mereka di sini tampak terlalu over-the-top dan karakter mereka dibuat terlalu kekanak-kanakan dan terlalu two-dimensional hingga pada akhirnya penampilan mereka justru terkesan seperti ketika mereka sedang menampilkan drama di atas panggung. 

Hal ini paling tampak pada pemeran karakter utama kita, James Franco, yang malah terlihat seperti seorang aktor yang sudah putus asa hingga mau “mempermalukan” dirinya sendiri dengan memerankan sosok karakter yang begitu annoying dan jelas-jelas tidak cocok dengan kharismanya. Dirinya juga bukan Johnny Depp (serius, harusnya orang ini saja yang menjadi Oscar) atau Helena Bonham Carter atau Sacha Baron Cohen yang memang memiliki skill khusus untuk memainkan karakter seperti ini menjadi sangat memorable. Dari seluruh jajaran cast, mungkin hanya Rachel Weisz saja yang tampil cemerlang (walau screentime-nya sangat sedikit). 


Overall, Oz the Great and Powerful adalah sebuah potensi terpendam yang tidak pernah dikembangkan sampai ke produk finalnya. Film ini menjanjikan begitu banyak kehebatan, terlebih lagi ada Sam Raimi yang siap membantu dan juga brand-awareness yang sudah kuat. Namun sayang, Disney tampaknya sudah terlalu trauma dengan kegagalan dua tahun berturut-turutnya dan memilih untuk berbuat tidak lebih dari sekedar me-recycle formula klasik ke dalam film modern. Dan inilah hasilnya. Sebuah film fantasi mengecewakan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak dan menjanjikan pemasukan ratusan juta dollar (anyway, pemasukan opening day-nya di Amerika memang sudah mengklaim hal ini). 

Oz, the great disappoinment.



You Might Also Like

4 comments

  1. buset dah...cuma dapat 2 stars from agan reyner...pdhal gw dah semangat 45 mo bawa family nonton di bioskop ( berhubung anak hr libur br bisa nonton, dah persiapkan budget 70rb/org tuk nonton yg 3D)
    dilema anatara quote'Oz the Great and Powerful berhasil menobatkan dirinya sebagai salah satu film dengan efek 3D terbaik dalam beberapa tahun terakhir.' dengan quote'Sebuah film fantasi mengecewakan'.....nonton ngak yaaaa????

    ReplyDelete
  2. Nonton aja deh gan versi 3Dnya. Banyak kok yang suka sama filmnya. haha. Di rottentomatoes juga lumayan positif review2nya. Mungkin gw yang salah ekspetasi :(

    ReplyDelete
  3. ok deh, thx for ur support n information....:D

    ReplyDelete
  4. saya sudah nonton filmnya dan memang secara kualitas mengecewakan...film ini cenderung membosankan dan banyak adegan yang lumayan janggal...

    ReplyDelete

Just do it.